Goresan1 : GADIS DI BALIK JENDELA (Cerpen)
GADIS DI BALIK JENDELA
Oleh : Nailil Izzatissa’adi
“Yang penting, aku sudah menyelesaikan sesuatu
yang kumulai”—Anon
***
Sore ini kamu ditemani malam yang tak
berbintang. Di seberang rumahku yang penuh kegelapan, kau dipenuhi cahaya
remang lilin yang memberiku kesempatan untuk menilik apa yang kau kerjakan.
Tangan cekatanmu terlihat menulis dalam secarik kertas kumal, namun wajahmu
terlihat begitu bahagia.
Gadis
kecil di seberang jendelaku. Umurmu tampak tak terpaut jauh dariku, namun tubuh
kecilmu seakan membiarkan orang lain berpikir kalau kau hanyalah gadis ingusan.
Wajahmu ketika menuliskan kata dalam secarik kertas takkan pernah kulupakan
setiap malam. Entah kau menyadarinya atau tidak, kamar tanpa tiraimu membantuku
lebih mengenalmu.
Pertama
kali aku melihatmu saat aku menginjakkan kaki di rumah yang menyebalkan ini. Di
rumah baru tanpa kehangatan. Tanpa ibu yang telah meninggalkanku demi bersama
laki-laki lain. Membuatku tak percaya dengan makhluk benama wanita. Tapi
semuanya sekejap berubah ketika aku melihatmu malam itu. Tak ada ketertarikan,
yang kurasakan hanyalah penasaran.
Kulit
pucat bermandikan cahaya lilin remang dalam kamar yang sangat sederhana. Rambut
sebahumu diterbangkan angin malam karena kau dengan santainya membuka jendela
kayumu. Pertama kali aku melihatmu mengambil selembar kertas dan sebatang pena,
duduk di depan jendela bermandikan cahaya seadanya. Wajah yang nampak menikmati
pekerjaan yang kau kerjakan, wajah polos yang tampak tulus, gerakan tangan yang
membuatku penasaran, apakah gerangan kata yang kau tuliskan.
Sudah
berapa lama aku melihatmu dari kejauhan. –Tidak—ini bukanlah jarak yang jauh
darimu. Namun ke-asikanmu seakan memberikanku jarak yang tak mampu tertempuh,
kau memberikan garis yang jelas untuk hidupmu sendiri. Tak berusaha menoleh
kearah jendela kacaku.
Tak
pernah kulihat kau keluar dipagi hari saat aku berangkat ke sekolah. Tak pernah
menemukanmu di siang hari ketika aku bermain bersama teman-teman. Tak pernah
bertemu denganmu disore hari disaat senja sedang indah-indahnya. Kau hanyalah
gadis kecil yang kutemukan di balik jendela saat temaram malam mengantarkan
kegelapan.
Bahkan
suatu malam ketika aku bahkan tak menemukanmu, aku mencari-cari dan aku
menunggu hingga larut malam dan terlelap. Entah apa yang kau kerjakan hingga tak
seperti biasanya, jendela kayumu tertutup begitu rapat, tak menyikasan ruang
sedikitpun bagiku untuk melihat.
Beberapa
hari ku lalui namun aku tetap menunggu jendela kamarmu kembali terbuka,
berharap melihat tangan kecilmu menulis dengan cepatnya. Sepuluh menit yang kau
gunakan setiap malam dan sepuluh menit waktu yang ku buang untuk melihat
selembar kertas yang telah dipenuhi dengan tinta-tintamu.
“Apakah
aku begitu pengecut?” pikirku.
Aku
tak pernah berani untuk memanggilmu dan memintamu untuk menunjukkan
kertas-kertas itu. Tak pernah berani memintamu untuk ke luar di pagi, siang,
ataupun sore hari. Sampai kapan aku harus melakukan ini wahai gadis di balik
jendela? Bahkan otak dan hatiku tak memperdulikan tanganku yang ingin menutup jendela
dan mengacuhkanmu. Aku tak pernah berani memulai apapun, dan aku tak pernah
memiliki kekuatan untuk mengakhirinya.
“Jika
tidak sekarang, sepertinya aku akan menyesal” pikiran itu yang membuatku
memutuskan untuk mengusikmu.
Tok...Tok...Tok
Bunyi
lemparan kerikil yang ku ciptakan seakan mengalihkan sejenak perhatianmu
kepadaku. Kau menoleh sejenak dan tersenyum tipis namun kembali mengalihkan
pandanganmu pada selembar kertas kusam.
“Ah!
Sepertinya dia hanya menganggapku orang iseng”
“Apa
yang sedang kau tulis?” tanyaku setengah berteriak berharap kau mampu
mendengarnya.
Matamu
menatapku dengan lekat dan menggeleng dengan singkat
“Ada
apa gerangan dengan gelengan itu?” aku semakin bingung dengannya. Namun
kebingungan itu terbayarkan dengan selembar kertas yang ia lemparkan dengan
bentuk pesawat terbang. Ku ambil kertas itu dan menoleh ke arahnya, namun
jendela kayu itu telah tertutup rapat.
Angin malam menyerbakkan semburat rona taburan
bintang
Mengantarkanku pada ketenangan yang dijanjikan
angin kepada hujan
Tetes embun dipagi hari sisa hujan semalam
Bintang yang tak tampak dikelilingi awan
Namun bagiku malam tetaplah sama
Malam tetaplah penantian yang abadi
Sepoi angin yang menerbangkan berita pagi
Bahwa janji yang digoreskan mentari akan
terbit kala ia menghilang
Berteman bersama malam
menghilang bersama malam~
Kamu
melemparkan selembar kertas bertinta hitam, berisikan puisi pilu yang
seakan-akan menunjukkan rasanya. Rasa sepi yang tak berujung. Kesendirian dalam
gelap. Aku mampu menangkap itu namun kau kembali membuangnya.
Kertas
itu hanyalah awal yang ku kira akan mengantarkan kita pada suatu perkenalan.
Namun kau menjadikan itu akhir yang bahkan tak berawal dengan hilang bersama
malam dan malam-malam lainnya. Sudah sebulan dan aku terus berharap malam
membawamu kembali. Tapi, bahkan ketika kakiku melangkah membuka ganggang pintu
rumahmu, yang kutemukan hanyalah kekosongan.
“Tak
ada seorang pun yang tinggal di rumah ini,” ucap seorang tetangga yang kutanyai. Atas izin
mereka, akupun masuk dan mencari jejak keberadaanmu.
Rumah
ini benar-benar kosong. Berdebu dan tak berpenghuni. Namun aku yakin bahwa kau
adalah nyata, kau bukanlah sekadar ilusi atau hantu yang bagiku tak pernah ada.
Namun sebenarnya siapa gerangan dirimu?
Langkah
kakiku berhenti pada sebuah ruangan yang kuyakini berada tepat berhadapan
dengan kamarku. Kamar dengan jendela kayu yang selama ini mengusik perhatianku.
Ku buka perlahan berharap apa yang diucapkan tetangga tadi hanyalah lelucon.
Berharap aku menemukan sisa bukti keberadaanmu yang akan segera dihantarkan
malam.
Yang
kutemukan hanyalah tumpukan kertas.
Tumpukan-tumpukan
kertas yang dipenuhi tinta hitam.
Namun
kamar ini hanyalah kamar kosong dan berdebu. Tak ada perabotan lain selain meja
dan kursi di depan jendela. Kecuali kertas-kertas yang menemanimu setiap malam.
Kuambil tumpukan kertas-kertas itu dan mulai
membacanya. Sebuah novel. Selama ini yang kau tulis adalah sebuah novel.
“Di Bawah Cahaya Malam” entah apa maksudmu meninggalkan sesuatu yang
menurutku pasti berharga bagimu.
“Yang penting, aku sudah menyelesaikan sesuatu
yang kumulai”—kata-kata terakhir yang kau sematkan di lembar kusam yang kini
digenggamanku –
Namun bagiku kau bahkan telah pergi sebelum
memulai apapun.
Wahai gadis di balik jendela, tak dapatkah kau
memulai kembali sehingga aku bisa memulai semuanya tanpa mengakhirinya dengan
penyesalan
Ku yakin ini bukanlah akhir
Comments
Post a Comment